Home
Jadwal Kegiatan
Unduh E-resep
Kuis Personalisasi
Artikel

Perjuangan Bersekolah Seorang Anak Dengan Mata Minus 16

96 SHARE
05 Januari 2016

Bayangkan dirimu tidak bisa melihat warna-warni bunga, gambar, pakaian, dan hal-hal lain di sekelilingmu dengan jelas. Apa jadinya kalau kamu harus membaca tulisan di buku sampai jarak matamu hanya beberapa sentimeter dari buku itu?

Seorang remaja berusia 15 tahun ini nyaris putus sekolah. Gangguan penglihatan yang dideritanya membuat siswa bernama Rukun ini terhambat dalam belajar. Tetapi, Rukun punya semangat 45 untuk tetap ke sekolah setiap hari.

Dengan kondisi Rukun seperti itu, ia tidak putus asa menuntut ilmu. Sedari kecil, penglihatannya yang samar-samar menjadikan Rukun harus bergantung pada bantuan sang ibu, teman, dan juga guru di sekolah.

Mungkin bagi sebagian orang gangguan akibat kelainan refraksi adalah masalah yang biasa atau bahkan sepele, namun tidak demikian bagi Rukun siswa kelas 8 SMP Mekar Tanjung Warakas, Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Dia sudah lama menderita kelainan refraksi, tidak tanggung-tanggung ternyata minus yang dialami Rukun mencapai minus 16.

Pernahkah kamu bayangkan betapa sulitnya Rukun menjalani hari-hari dengan mata minus 16?

Bahkan sebelum berjuang untuk bisa menyerap ilmu yang diberikan oleh bapak dan ibu guru, ia harus bersusah payah menempuh perjalanan ke sekolah. Tidak pernah terbayangkan Rukun bisa seberuntung anak-anak lainnya yang perjalanan pergi dan pulang dari sekolahnya menyenangkan karena diantar menggunakan mobil ataupun dibonceng dengan sepeda motor oleh orang tuanya.

Rukun memang terlahir dari keluarga yang kurang mampu. Jangankan membeli sepeda motor, untuk menyanggupi membelikan kacamata minus saja orang tuanya belum mampu. Akhirnya, setiap hari Rukun harus bangun jam 4 pagi untuk persiapan berangkat ke sekolah, karena penglihatannya yang kurang jelas maka ia harus memberikan waktu lebih banyak untuk berangkat ke sekolah yang ditempuh dengan berjalan kaki.

Masalahnya bukan hanya sampai situ saja. Ketika ia menerima pelajaran yang diterangkan oleh gurunya di sekolah, ia mengandalkan teman sebangkunya untuk melihat tulisan yang ada di papan tulis. Kondisi ini yang membuat ibunya sempat ragu, apakah Rukun harus tetap melanjutkan sekolah atau tidak. Namun, Rukun berulang kali meyakinkan ibunya bahwa ia memilki semangat belajar yang besar hingga akhirnya ia tetap diperbolehkan bersekolah meski dengan gangguan penglihatan.

Rukun adalah satu di antara ribuan kisah anak-anak Indonesia lainnya yang memiliki kelainan refraksi yang selama ini dianggap sepele. Pada Januari 2015 di wilayah Jakarta Utara setidaknya kami menemukan 958 anak yang kurang mampu dan juga memilki gangguan penglihatan.

Jika kamu mengira bahwa gangguan penglihatan hanya dialami oleh anak-anak yang tinggal di daerah perkotaan, segera buang stigma tersebut.

Gangguan penglihatan tidak hanya dialami oleh anak-anak kota yang sudah terbiasa berlama-lama menatap layar gadget. Di pelosok-pelosok negeri yang bahkan listrik masih menjadi barang langka, banyak anak-anak yang ternyata memiliki masalah yang sama soal penglihatan dan jarang mendapat perhatian publik.

Di Indonesia, dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun), 10% mengalami gangguan akibat kelainan refraksi. Menurut data riset tahun 2013 Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan, 4,6% dari total populasi penduduk Indonesia memakai kacamata koreksi refraksi dan lensa mata, atau dengan kata lain kacamata minus. Sayangnya, 90% dari kasus gangguan penglihatan diderita oleh masyarakat yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah.

Lalu apa dampak negatif bagi mereka jika didiamkan begitu saja?

Jika gangguan penglihatan dialami oleh anak-anak usia sekolah (5-19 tahun), maka akan berpengaruh pada perkembangan kecerdasan anak. Otak dan mata dihubungkan oleh syaraf optis. Saat mata mengalami gangguan penglihatan, tentu akan mempengaruhi kinerja otak. Jika anak-anak tidak mampu atau salah membaca tulisan karena gangguan penglihatan, maka otak juga akan salah mempersepsikan makna tulisan. Hal tersebut yang akan membuat proses belajar mengajar terhambat. Selain itu juga akan mempengaruhi mutu, kreativitas, dan produktivitas anak-anak.

Lantas apakah kita hanya tinggal diam?

Sebelumnya kami sudah membagikan sekitar 4.005 kacamata untuk anak-anak yang tinggal di Jakarta (termasuk Rukun), Atambua (NTT), dan Nunukan (Kalimantan Utara) lewat komitmen #generAKSISEHATIndonesia dengan memanfaatkan media sosial. Melalui gerakan ini kami mengajak pengguna media sosial untuk mengunggah foto komitmen sehatnya. Pada tahun ini kami juga mengajak para pengguna media sosial untuk mengunggah foto atau video aksi makanan sehat yang mereka konsumsi ke Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube dengan disertai hashtag #generAKSISEHATIndonesia.

Jika kamu ingin turut berkontribusi untuk membantu Rukun - Rukun lainnya melihat dunia lebih jelas dengan cara yang paling mudah, kamu bisa ikut berpartisipasi dalam #generAKSISEHATIndonesia. Dengan 1 hashtag #generAKSISEHATIndonesia yang sudah kamu unggah di media sosial, kamu sudah menyumbangkan 1 kacamata untuk 1 anak Indonesia agar dapat melihat lebih jelas dan mendukung masa depannya.

Bantu mereka mendapatkan kacamata agar dapat mewujudkan cita-citanya.

RELATED ARTICLES